JAKARTA – Kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan terkait pungutan biaya program percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) 2021di Desa Lambangsari, Kecamatan Tambun Selatan, dengan tersangka tunggal PH, Kepala Desa (Kades) Lambangsari dan menjadi tahanan Kejaksanaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi, tidak hanya memicu gelombang perlawanan dari masyarakat dan pemohon PTSL yang melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk pembelaan terhadap PH dinilai menjadi hal wajar dalam menyuarakan aspirasi mencari keadilan.
Lebih dari itu, kasus dugaan korupsi yang disangkakan kepada Kades PH juga menarik perhatian Presiden Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM-LIRA) Andi Syafrani, yang menilai janggal dengan upaya tindakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi.
“Anehnya dalam kasus ini hanya Kades saja yang dijadikan tersangka, padahal pihak lain yang juga ikut serta dalam program tersebut tidak disentuh sama sekali. Dalam tindakan pidana korupsi, tidak pernah ada pelaku tunggal,” ujar Andi, Sabtu (24/09/2022).
Tidak hanya itu, lanjut Andi, melihat fenomena yang terjadi dengan adanya dukungan solidaritas dan pembelaan aksi-aksi warga ke Kejari dan kantor Bupati Bekasi, adalah bukti nyata tidak adanya keberatan warga terhadap upaya percepatan program PTSL yang digerakan oleh Kades PH, terlebih program tersebut adalah program nasional yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo, dan warga sudah menerima sertifikat tanah mereka sebagai hasil kerja yang dilakukan.
“Apalagi informasinya terkait pungutan tambahan, jika pun ada, diberikan warga pemohon tanpa adanya paksaan. Bahkan jika mau jujur dan terbuka, diduga nilai tambahan yang diberikan warga pemohon terhitung sangat kecil dibandingkan dengan daerah lainnya. Apalagi biaya tambahan itu untuk operasional seluruh tim yang bertugas dalam program PTSL di wilayahnya. Dan diduga juga tidak ada uang negara,” ulas Presiden LIRA yang juga sempat menjadi salah satu kuasa hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Dikatakan Andi, sejatinya jika memang kejaksaan menduga adanya masalah kerugian warga dan negara dalam program PTSL, kenapa tidak dilakukan ke seluruh wilayah desa, sehingga tidak terkesan adanya upaya kriminalisasi terhadap Kades tertentu.
Terlebih lagi, lanjut Andi, upaya yang dilakukan seorang Kades dalam mendukung percepatan program nasional tentunya butuh penanganan langkah-langkah yang tepat agar tidak menimbulkan kegaduhan. Terlebih percepatan PTSL di Desa Lambangsari bisa dikejar dalam tempo yang cepat keberhasilannya.
“Keberhasilan Kades Lambangsari mestinya diapresiasi, bukan malah dikriminalisasi. Jika ada dugaan tindakan penyalahgunaan kewenangan, mestinya dilakukan dengan pendekatan administrasi bukan pidana. Sejatinya pihak Kejari melakukan pendampingan saat sosialisasi di awal PTSL. Jangan sampai kasus ini akan membuat Kades dan aparat di desa tidak lagi berkenan membantu program nasional karena tidaknya jaminan hukum dari pusat,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi Siwi Utomo menjelaskan, dugaan pungli terjadi ketika wilayah yang dipimpin Kades PH, ditetapkan menjadi salah satu desa yang mendapatkan program PTSL dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) tahun 2021.
Dikatakan Siwi, saat itu PH diduga meminta sejumlah uang kepada warga yang hendak membuat permohonan penerbitan sertifikat tanah.
“Penyelidikan dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari laporan masyarakat yang keberatan atas permintaan sejumlah uang dalam proses PTSL,” terang Siwi dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu (03/08/2022) lalu.
Untuk diketahui, Kades PH diperiksa sebagai saksi pada Selasa (02/08/2022), dan langsung dinyatakan tersangka serta dilakukan penahanan. (kb)