CIKARANG PUSAT – Angka kasus penderita Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Bekasi, cukup tinggi, Komunitas Pena Bulu STPI Kabupaten Bekasi mencatat sepanjang tahun 2021 hingga 2022 ada sekitar 16.000 penderita TBC yang menjalani pengobatan di rumah sakit.
Penyebab tingginya angka kasus TBC disebabkan kesadaran masyarakat yang masih minim terhadap penyakit tersebut, kebanyakan masyarakat masih malu dan takut jika didiagnosa menderita TBC, sehingga sulitnya melakukan deteksi terhadap pemeriksaan kontak erat penderita.
Hal tersebut disampaikan oleh Satriani Staf Program Eliminasi TBC Konsorsium Penabulu-STPI, dalam sebuah acara bertajuk pertemuan Komunitas dan Pemangku kepentingan Jejaring DPPM di Hotel GTV, Sukamahi, Kecamatan Cikarang Pusat.
“Ada sekitar 16.000 tapi ada dua tipe ada bekteriologis dan klinis dan itu sudah terbagi, apa yang sudah kami lakukan?, jadi kita tidak turun investigasi sendiri, tapi kita menghair kader Tuberkulosis,” ujar Satriani, Kamis (24/11/2022).
Satriani menyebut, kehadiran Konsorsium Komunikasi Penabulu-STPI berkomitmen bersama mendukung terlibatnya lintas Sektoral dalam jejaring DPPM di Kabupaten Bekasi yang melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, selaku Kepala Seksi P2PM Program Tuberkulosis.
“Keterlibatan ini penting untuk mendorong munculnya kebijakan dan dukungan pemangku kepentingan dalam eliminasi TBC di daerah.” ungkapnya.
Dalam rangka mendukung pendekatan District-Based Public-Private Mix (DPPM), PR Konsorsium Penabulu-STPI ikut serta mengambil peran untuk memperkuat jejaring layanan TBC serta pendampingan pasien berbasis komunitas.
Sementara itu, Bambang Eko Budi Yanto
SR Manager Jawa Barat Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI mengatakan, terdapat 18 provinsi dan 77 Kabupaten/Kota wilayah kerja prioritas untuk dukungan komunitas dalam implementasi DPPM, yang mana Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bekasi menjadi salah satu wilayah kerja.
“PR Konsorsium Komunitas PB-STPI memiliki strategi upaya meningkatkan peran OMS dan
komunitas terdampak TBC dalam mempengaruhi Pemerintah Daerah mengeliminasi TBC melalui pendekatan multi-sektor; salah satunya adalah mendorong keterlibatan peran legislatif dan eksekutif di daerah.” ujarnya.
“Salah satu komponen pemersatu pemerintah daerah dalam menanggulangi TBC adalah adanya indikator SPM kesehatan yang mencantumkan isu TBC.” lanjut Eko.
Menurutnya, dalam tiga tahun terakhir, kesenjangan penemuan pasien TBC di Indonesia diantara orang yang diestimasikan sakit TBC setiap tahunnya masih melebihi 30 persen, dimana mayoritas notifikasi berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik.
Namun, sektor swasta mengelola lebih dari 50 persen rumah sakit di Indonesia dan sekitar 70 ribu dokter praktik mandiri/DPM. Selain itu, lebih dari lebih dari 60 persen tenaga kesehatan publik memiliki pekerjaan kedua di faskes swasta atau praktik mandiri. (BCG & USAID, 2018).
“Setyaningsih, Nasution, et al., 2017 memetakan bahwa 74 persen orang dengan gejala TBC mengakses layanan swasta dan 52 persen diantaranya mengakses farmasi atau warung obat.” tutupnya.(kb)