TAMBUN SELATAN – Penetapan tersangka Kepala Desa Lambangsari Pipit Heryanti (PH) dalam kasus Pungutan Liar (Pungli) Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi dinilai politis, padahal banyak pelaku lain yang ikut menerima aliran dana dari pungli tersebut.
Kuasa Hukum PH, Bambang Sunaryo SH. MH, dalam keterangannya, Senin (19/09/2022) mengatakan, jika berbicara mengenai kasus hukum sangat unik, penegakan hukumnya terkesan tebang pilih dan tidak pada tempatnya.
“Kami melihat, kasus korupsi yang dialami klien kami tidak berdiri sendiri, tentunya dalam kasus ini ada panitia PTSL, ada Sekdes, ada Kasi Pemerintah, BPD, ada RT dan RW, dan Kepala Dusun, yang ikut menikmati aliran dana itu. Pungutan sebesar Rp400 ribu kan kesepakatan bersama, kenapa cuma Bu Pipit yang dijadikan tersangka?,” ungkapnya.
Ia menyebut biaya PTSL berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) hanya sebesar Rp150 ribu, tapi untuk munculnya angka pungutan Rp 400 ribu berdasarkan keputusan bersama, hal ini memang kekeliruan dan salah, tapi bukan atas prakarsa Kades, namun keputusan yang dibuat oleh Sekdes, Kasi Pemerintahan, BPD, RT dan RW, maka dilakukan pungutan itu.
“Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi dalam melakukan penegakan hukum tebang pilih, ada muatan politis. Saya tidak sepakat jika Sekdes dan Kasi Pemerintahan dibiarkan bebas. Kalau memang ingin menegakan hukum, semestinya mereka juga dijadikan tersangka, kalau hanya Kades yang ditahan, ini kan politis namanya,” jelasnya.
Pihaknya meminta agar Kejaksaan Agung (Kejagung) agar mengevaluasi kinerja dari Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Bekasi karena tidak profesional dalam penegakan hukum kasus kliennya itu.
“Semestinya Kajari juga melakukan pendampingan hukum soal PTSL, di tempat lain pungli PTSL nilainya lebih dari Rp400 ribu, selama ini tidak ada pendampingan untuk mencegah terjadinya pungli, Kejari fungsinya apa?. Semestinya harus memberikan edukasi, tapi ini langsung ditegakkan hukum. Kalau mau begitu maka setiap yang terlibat seharusnya diangkut dan dijadikan tersangka,” ucapnya.
Ia berharap jika ingin ditegakkan hukum, harus berlaku seadil-adilnya, dan jangan tebang pilih. Bagi yang terlibat pungli PTSL, papar dia, harus dijadikan tersangka, namun jika tidak, maka hal ini menjadi cermin ketidakmampuan Kepala Kejari dalam bekerja.
“Tindakan korupsi tidak berdiri sendiri dan dilakukan bersama-sama. Untuk aliran dana Rp400 per sertifikat, dibagi untuk Kades Rp80 ribu yang digunakan untuk kegiatan operasional kesektariatan dan sosialisasi bukan untuk pribadi, Sekdes diberikan Rp60 ribu untuk pribadinya, Kasipem dibagi Rp 60 ribu, RT Rp50 ribu, RW Rp 50 ribu, BPD Rp15 ribu, Kadus Rp35 ribu, untuk input komputer Rp20 ribu, dan kesektariatan Rp 35 ribu,” bebernya.
Bambang menjelaskan, biaya pungutan PTSL itu juga atas kesepakatan bersama warga, dan tidak ada yang merasa terbebani dengan adanya pungutan itu.
“Justru mereka merasa terbantu, bahkan dari 1000 lebih PTSL, ada beberapa bidang tanah yang digratiskan,” demikian dia mengakhiri. (kb)